Ari Wulandari
Penulis, peneliti budaya, dan dosen PBSI, FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta; web pribadi arikinoysan.com
Setiap orang dengan kondisi yang berbeda, pasti memiliki tujuan yang tidak sama. Keadaan itu menyebabkan prioritas tiap orang pun beragam. Tahun 2023 sudah datang. Kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok, entah disadari atau tidak jelas sudah terjadi. Saya biasanya tidak iyig pingin tahu berapa harga per item barang.
Ketika saya menerima tagihan yang rasanya “berbeda” dengan bulan-bulan sebelumnya, saya pun jadi rada mikir. Karena perolehan barangnya tidak banyak berbeda, tapi tagihannya berbeda cukup besar. Siapa tahu saja ada salah hitung.
Baca Juga: Venna Melinda Disebut-sebut Alami Trauma Psikis Usai Mengalami Kekerasan
Menghitung cek cepat, lha ya sudah benar. Tidak ingin berbantahan dengan keadaan, saya memeriksa rincian tiga bulan sebelumnya. Ya, kenaikan harga barang itu cukup besar. Bahkan ada yang hampir seratus persen. Dan itulah sebabnya, dengan biaya yang jauh lebih besar, tapi perolehannya hampir sama saja.
Kesal? Jelas tidak bisa. Lha itu barang-barang yang mau tidak mau harus dibeli untuk keperluan hidup. Berapapun harganya, selama ada dan terbeli, pasti akan dibeli. Itu sudah prinsip yang saya ketahui sejak lama.
Kemudian saya mendengar juga curhat asal saudara dan ipar, tentang harga-harga, tentang aturan kebijakan baru pemerintah, tentang banyak hal ---yang intinya semua bermuara pada besarnya pengeluaran. Sementara penghasilan dasar masih begitu-begitu saja alias tidak banyak perubahan.
Baca Juga: Presiden Jokowi Minta Semua Pihak Jaga Stabilitas di Tahun Politik
Alih-alih menyalahkan keadaan, saya memberikan pandangan untuk mengatur prioritas masing-masing. Mengecek kembali hal-hal mendasar tentang hidup. Mengubah beberapa jenis merek dengan produk lain setipe berkualitas ---yang harganya lebih murah atau pas promo diskon.
Mengingat hal ini, saya pernah teringat kawan yang menceritakan bagaimana perubahan harga barang-barang tidak mempengaruhi jumlah pengeluaran belanja bulanannya. Dengan item yang lebih kurang sama; kalau ada produk tertentu naik harga ---maka dia akan segera mengganti produk sejenis dengan merek yang berbeda. Tentu ada pengecualian pada produk-produk khusus. Produk yang harus itu. Karena kalau tidak nanti dia alergi, anaknya tidak bisa makan, atau sebab lainnya.
Menurut saya, itu hal yang menarik. Jadi, mau ada perubahan seperti apapun ---dia tidak terikat dengan merek.
Baca Juga: Kapolri Akan Tambah Polda dan Personel di Wilayah Daerah Otonomi BaruDia hanya memikirkan terpenuhinya kebutuan dengan anggaran yang tetap. Jadi, pola pikirnya ini sangat merdeka. Tidak didikte oleh kenaikan harga, tidak terpaku pada merek, tetapi mengutamakan terpenuhinya semua kebutuhan dengan baik. Tanpa harus merengek meributkan kenaikan harga. Sementara pendapatan yang bisa diatur dan ditata masih segitu-gitu saja.
Kita memang tidak bisa menyalahkan keadaan. Kitalah yang harus berjuang mengalahkan keadaan. Dengan kondisi riil di masyarakat yang sebenarnya banyak keberatan dengan segala kenaikan harga, tetapi tetap harus menerima ---tugas kitalah untuk menjadi lebih cerdas dalam membelanjakan uang.
Baca Juga: Momen, Presiden Jokowi Silaturahmi dengan Wartawan Istana
Bagi lajang-lajang mapan atau keluarga dengan pendapatan tinggi, mungkin tidak terlalu masalah dengan perubahan tersebut. Tapi bagi keluarga dengan penghasilan cukup saja, tentu ini jadi masalah besar. Kalau tidak diselesaikan, rumah tangga bisa kacau. Anak-anak bisa menangis jejeritan kalau kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi. Lagi-lagi, semacam retorika bahwa penghematan dalam kondisi apapun tetap diperlukan.
Di sinilah perlunya setiap orang, setiap keluarga menentukan dan mencatat prioritas masing-masing. Tidak ada salahnya kok melihat kembali catatan pengeluaran selama tiga bulan yang lalu. Kemudian mencermati harga-harga kebutuhan tersebut dan menandai mana saja produk-produk branded yang bisa diganti dengan kelas di bawahnya. Dengan prinsip tidak boleh mengabaikan masalah kualitas. Termasuk hal khusus yang ada di lingkungan keluarga.
Baca Juga: Tanggapi Penangkapan Tersangka Korupsi, Presiden Jokowi: KPK Sudah Punya Fakta dan Bukti
Kalau misalnya si anak sudah biasa pake susu A dan dipaksa ganti B tapi malah mencret, ya jangan diganti. Kalau biasa pake detergen C diganti D malah bikin baju bau, ya tetap harus C. Ini adalah contoh sederhana untuk pertimbangan penggantian produk. Kalau tidak masalah produk A diganti B dan barang C diganti D dengan pertimbangan harga, maka tinggal mengeksekusi. Mengambil tindakan dengan mengganti barang.
Hal itu saya kira bukan hal yang asing bagi ibu-ibu. Semacam mengambil putusan mudah kalau berada di tukang sayur. Tidak ada ayam, bisa diganti ikan. Tidak ada sayur kol bisa diganti dengan sawi. Tidak ada kerupuk ikan bisa diganti kerupuk udang. Tidak ada sosis bisa diganti telur. Dan seterusnya sesuai dengan kondisi dan keperluan masing-masing.
Dengan perubahan hal seperti itu, tentu berapapun penghasilan yang diperoleh akan tetap bisa digunakan sesuai keperluan hidup. Tentu akan lebih baik, kalau masing-masing berusaha meningkatkan pendapatannya. Namun karena ini jelas belum pasti, alangkah baiknya melakukan tindakan alternatif seperti uraian di atas.B
aca Juga: Menag: Tahun 2023 Kuota Haji 221 Ribu
Saya termasuk orang yang tidak terikat merek. Apa saja boleh, asal baik berkualitas sesuai keperluan dan sesuai kantong saya. Itu sebabnya saya cenderung membeli sesuatu dengan cash atau debet langsung. Menyerahkan uang, terima barang. Tidak jadi pikiran lagi. Dan karena harganya sesuai, saya tidak terlalu “sayang”. Kalau barang jatuh, tergores, begini begitu, dihabiskan dalam waktu cepat, pikiran saya sederhana. Ya nanti beli lagi. Karena untuk membelinya tidak memerlukan energi besar.
Hal itu akan berbeda kalau saya memaksakan untuk membeli produk branded di luar kemampuan. Ada gores dikit saja, pasti ribut. Ada kesalahan sepele saja, pasti bertengkar. Ya apa gunanya saya membeli barang, tapi tidak leluasa menggunakannya? Bahkan, selalu khawatir dengan biaya operasional yang mungkin terjadi karena penggunaan barang tersebut? Menurut saya itu hal yang kurang logis.
Baca Juga: Sejumlah Rumah Warga Kabupaten Kepulauan Tanimbar Rusak Akibat Gempa M7,9
Jadi, saya menentukan prioritas dari keperluan atau kebutuhan hidup. Lalu menakar produk atau merek mana yang akan saya beli sesuai dengan kemampuan kantong saya. Ada kecenderungan kalau yang ingin saya beli itu ---ada harganya---- saya menabung lebih dulu. Tidak membayar dengan kredit, paylater, pinjol, atau bentuk lain yang membuat saya punya utang. Karena nyesek aja kalau utangnya belum beres, tahu-tahu barang rusak, ilang, teledor diambil orang, dll.
Itulah yang membuat kehidupan saya “anteng” nggak banyak riak-riak keributan. Saya menyederhanakan keinginan menjadi kebutuhan. Kalau sepertinya tidak butuh-butuh amat, biasanya saya cenderung lupa ---lalu tidak membeli. Tapi kalau kebutuhan, tiap kali memerlukan dan belum ada, pasti akan saya usahakan untuk segera membelinya. Baru bisa tenang kalau sudah terbeli dan tidak ada tanggungan lagi.
Baca Juga: Sejumlah Rumah Warga Kabupaten Kepulauan Tanimbar Rusak Akibat Gempa M7,9
Nah sumonggo, kita masing-masing dengan situasi yang tidak menentu ini, lebih cermat dan cerdas menata prioritas. Segala sesuatu yang kurang penting, sebaiknya diabaikan dulu. Kalau pun ada uang untuk mengganti sepeda lipat yang baru ---agar sama dengan teman-teman di grup pesepeda, sementara sepeda lipatnya masih bagus; ya tidak usah ngotot demi gengsi. Kalau misalnya korden di rumah masih sangat bagus, tapi sudah bosan dengan warnanya ---ya ditahan saja dulu. Begitu juga dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Kenapa begitu? Karena versi saya, kalau uang sudah dibelikan barang; sungguh tidak bisa dikembalikan jadi uang. Kecuali kita pedagang yang berjual beli barang tersebut. Sebaiknya memang kita lebih berhati-hati. Teliti barang sebelum membeli. Bukan hanya pada kualitas dan kuantitas barang, tapi juga pada pertanyaan benarkah kita benar-benar memerlukan barang ini? Atau hanya sekedar lapar mata dan demi gaya atau gengsi? Sampeyan sendiri yang memutuskan. ****
Artikel Terkait
Momen Presiden Jokowi dan Gubernur Jabar Main Lato-lato di Subang
Kabar Duka, Pak Ogah si Unyil Meninggal Dunia
Artis Nikita Mirzani Divonis Bebas Atas Kasus Pencemaran Nama Baik
Tahun Baru: Target VS Realisasi
Harapan Baru
Penggalangan Dana Untuk Indra Bekti Tuai Pro dan Kontra
Istri Indra Bekti Terus Beri Dukungan: Kamu Gak Boleh Menyerah
Piranti Baru
Pj. Gubernur Papua Barat Daya Sebut Insan Pers Punya Peran Strategis
Venna Melinda Disebut-sebut Alami Trauma Psikis Usai Mengalami Kekerasan