ARI WULANDARI
Penulis dan Dosen PBSI - FKIP - Universitas PGRI Yogyakarta
PenaBicara.com-Saya terlahir dengan kondisi istimewa. Bayi prematur belum genap tujuh bulan dengan berat badan hanya delapan belas ons. Dalam waktu yang lama saya harus berada di inkubator rumah sakit, demi mestabilkan kondisi yang rentan mati itu. Berbulan-bulan kemudian, baru saya diperbolehkan bersinggungan dengan udara luar.
Toh, keadaan itu tetap tidak mudah bagi orang tua saya. Sehari keluar dari rumah sakit, saya sudah harus balik lagi ke rumah sakit. Sebentar saja kena udara saat itu, seluruh badan saya akan membiru dengan nafas sesak yang memilukan hati.
Dalam versi cerita ibu saya, sejak lahir sampai lima tahunan, hidup saya lekat dengan rumah sakit. Jatuh bangun berulang sakit berat yang menghabiskan hati orang tua. Segala jenis penyakit bayi, seperti menjadi keseharian yang enggan berpisah dengan saya.
Baca Juga: 3.500 Personel Gabungan Polri-TNI Kawal Aksi Demo Tolak BBM di Balai Kota DKI Jakarta
Setiap hari, hidup saya lekat dengan obat-obatan dan aneka produk penunjang kesehatan. Selain tidak terlalu menyenangkan bagi si bocah, tentu biayanya saat itu ---tidak cukup ringan untuk pasangan yang baru menikah, seperti bapak dan ibu saya kala itu.
Beruntunglah dengan pemikiran yang sederhana, ibu saya selalu mensugesti bahwa saya sehat-sehat saja. Sakit semasa belia tidak harus terus menerus menghinggapi saya. Setelah umur enam tahun hingga sekarang, praktis saya tidak pernah terkena sakit berat lagi. Kalau sakit ringan, seperti batuk, pilek, demam, atau sekedar badan panas meriang ---ya sesekali. Namanya juga manusia. Ada masanya juga terkena sakit seperti itu.
Baca Juga: Pendataan Regsosek Akan Dimulai di Kota Sorong, Masyarakat Diminta Berikan Jawaban Yang Jujur
Kesadaran atas tubuh fisik dan mental saya yang tidak sama seperti layaknya anak lainnya, membuat saya lebih hati-hati menjaga diri. Saya tidak mau terkena sakit yang ekstrim berat. Selain karena sakit tidak menyenangkan, mengkonsumsi segala macam obat juga bukan hal yang mengenakkan. Seperti kita tahu bersama, rerata obat-obatan itu pahit di lidah, pekat di tenggorokan.
Ketika saya masih tinggal bersama orang tua, sekurangnya pola hidup sehat sudah saya ikuti dari orang tua. Saya tinggal makan minum ikut orang tua. Tidur di rumah orang tua. Demikian juga aktivitas lainnya menyesuaikan dengan keadaan di rumah. Saya tidak mengatur hidup saya sepenuhnya.
Baca Juga: BPS Kota Sorong Libatkan 321 Petugas Untuk Lakukan Pendataan Awal Regosek
Begitu saya meninggalkan rumah untuk kos dan kuliah di Jogja, mulailah saya kudu mengatur diri sendiri. Tahu kan ya, ada banyak penyakit anak kos, terutama karena masalah makan tidak tertib. Karenanya saya memilih tempat kos, yang sekaligus menyediakan makan sehari tiga kali. Dengan demikian, saya tidak akan sampai kelaparan atau telat makan. Bagaimanapun, makanan tersedia di rumah berbeda dengan makan harus ke luar rumah.
Dari sana saya mulai mengatur diri secara mandiri berkaitan dengan kesehatan. Saya menata jadwal kapan harus olahraga, kapan harus istirahat dan tidur, mengatur konsumsi makan minum, menyediakan beberapa minuman dan multivitamin penjaga kesehatan, dll. Artinya, saya secara sadar menginvestasikan beberapa hal untuk menjaga kesehatan tubuh saya.
Artikel Terkait
Jangan Merusak Kebahagiaan
Ribuan Penonton Penuhi Bioskop XXI Sorong Untuk Nobar Film Taklukkan Mimpi
Disidang, Ini Alasan Terdakwa Media Zein Lakukan Penngancaman
'Ambruknya' Royalti Buku
Cegah Radang Paru, Pemerintah Berikan Imunisasi PCV Bagi Anak
Ini yang Membuat Hotman Paris Kembali Bicara Lantang, Menyikapi Maraknya Kasus Pemerkosaan
Apalagi yang Bisa Dihemat?
Damos Simatupang Resmi Pimpin PJS Deli Serdang
Ada Apa Dengan Reza Arap, Cowok Bucin yang Diterpa Isu Perselingkuhan?
Ada Tips Dari Baim Wong Untuk Deketin Gebetan, Apa itu?