Seragam Sekolah

- Senin, 8 Agustus 2022 | 07:25 WIB
Ari Wulandari (Hilda Arief)
Ari Wulandari (Hilda Arief)

 

ARI WULANDARI

Dosen PBSI - FKIP - Universitas PGRI Yogyakarta 

 

Saat ini masih ramai bahasan tentang seragam sekolah di tempat tinggal saya, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Konon, adanya tindakan pemaksaan seragam sekolah mengenakan jilbab dan pakaian lengan panjang beserta rok panjang bagi siswa perempuan. Tindakan tersebut telah memakan korban yang menjadikan pihak siswa mengalami trauma. Dampaknya, beberapa pihak yang dianggap terlibat dalam tindakan tersebut dikenai sanksi berkaitan dengan pekerjaannya sebagai guru dan kepala sekolah.

Saya sebut konon, karena saya tidak mengikuti detail kejadian dan perkara tersebut secara terperinci. Bapak Ibu dkk pembaca bisa mencari detail informasinya ke media-media lain yang menurunkan laporan tersebut secara akurat. Namun berita itu santer sekali dan saya pun sempat bertanya, lha kenapa soal seragam saja kok dipaksa berjilbab? Di sekolah negeri pula!

 Baca Juga: Claypot Popo, Kuliner Tionghoa Di Jakarta Selatan, Bagai Pulang ke rumah Popo di Film Kungfu.

Saya sebagai mantan anak sekolahan, sebenarnya cukup kaget dengan kenyataan tersebut. Ya, karena sebagai lulusan sekolah negeri sepenuhnya ---baik dari SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi; saya merasa bahwa urusan berpakaian itu tidak pernah ada masalah yang beribet. 

Sekolah zaman saya, tentu saja tidak sama dengan sekolah zaman sekarang. Bayangkan, kalau dulu saya masuk SD bisa tanpa perlu ijazah PAUD dan TK, anak sekarang masuk SD harus sudah memiliki kedua ijazah tersebut. Selain itu, di sekolah-sekolah bergengsi atau bertaraf internasional, masuk SD pun menggunakan serangkaian tes formal yang harus lulus dengan standar minimal mereka. Tanpa itu, anak-anak tidak bisa masuk di SD tersebut. Demikian juga untuk tingkat SMP dan SMA. Aturan dan persyaratannya lebih beragam dengan biaya yang tentu saja tidak lagi ringan. 

Baca Juga: 74.380 Jemaah Haji Indonesia Sudah di Tanah Air

Kalau tingkat Perguruan Tinggi di Indonesia siy, sudah sejak zaman dulu kala ada tes masuknya. Ini karena jumlah kursi yang tersedia di Perguruan Tinggi terbatas. Semakin baik dan berkualitas Perguruan Tinggi yang dipilih, biasanya menuntut skor nilai tinggi dan persyaratan yang lebih beragam dibandingkan Perguruan Tinggi yang berkategori menengah atau standar saja. 

Zaman berubah. Waktu terus berjalan. Teknologi semakin maju. Aturan pendidikan di Indonesia pun semakin beragam. Termasuk dalam hal berpakaian seragam ini. Saya melihat anak-anak PAUD saja, ---sebagai contoh salah satu ponakan saya di Tulungagung, seragamnya ada 5 stel. Dipakai bergantian setiap hari Senin hingga Jumat. Kadang-kadang masih ditambah dresscode tertentu untuk acara khusus PAUD mereka. 

Baca Juga: Belajar Berbagi Peran Dari Zecira Musovic, Dari Pesepakbola Menjadi Ibu Rumah Tangga  

Banyak? Iya. Membeli berbayar? Jelas. Bukan seragam gratisan. Dan itu juga ada harganya. Bagi sebagian keluarga yang cukup mampu, membayar katakanlah 100 ribu untuk 1 seragam, mungkin tidak masalah kalau harus membayar 500 ribu untuk seragam saja. Ditambah biaya masuk antara 700 ribu sampai 1 juta, lalu kena biaya bulanan sekitar 100 ribu. Silakan hitung sendiri biaya PAUD untuk jenis sekolah yang standar saja, bukan PAUD terbaik atau bergengsi di kota kelahiran saya itu. 

Halaman:

Editor: Hilda Arief

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Aktor Senior Eeng Saptahadi Tutup Usia

Senin, 22 Mei 2023 | 18:03 WIB
X