Oleh : Ari Wulandari
Dosen PBSI FKIP Universitas PGRI Yogyakarta
PenaBicara.com-Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei sudah lewat beberapa hari. Namun karena pas hari itu kita masih merayakan Idul Fitri atau berlebaran, maka saya baru mengulas materi ini sekarang. Menurut saya, pendidikan tetap akan menjadi tema atau bahasan yang selalu up to date; karena di dalam pendidikan itu selalu ada proses belajar terus menerus untuk memperbaiki kehidupan.
Saya termasuk orang yang mempercayai bahwa pendidikan tinggi adalah satu-satunya jalan untuk memangkas kemiskinan. Kita secara langsung atau tidak langsung dapat melihat, mereka yang memiliki pendidikan tinggi ---secara umum memiliki tata ekonomi yang lebih mapan. Tidak selalu seperti itu, tapi kecenderungan umum begitu. Mereka yang mendapatkan pendidikan formal lebih layak (tinggi), bisa mengakses pekerjaan formal secara lebih luas dibandingkan mereka yang tidak mengenyam pendidikan tinggi.
Oleh karena itu, meskipun bertahun-tahun sejak belia saya adalah freelancer sebagai penulis profesional, saya tetap memutuskan untuk sekolah tinggi. Saya melihat bahwa sekolah formallah yang membantu kita berpikir secara teoretis dan konstruktif. Sekolah formal mendorong kita untuk terbiasa melihat segala sesuatu secara sistematis dan menyeluruh. Sekolah tinggi bagi saya bukan semata-mata demi menambah gelar dan ijazah ---yang ora payu ‘tidak laku’ di dunia freelancer, tetapi tentang membentuk pola pikir dan meluaskan jaringan atau relasi.
Saya bersyukur bahwa Tuhan sudah memberikan kepada saya kesempatan sekolah formal sampai tingkat tertinggi. Dan inilah yang menjadi persoalan ketika kemudian saya ditanya oleh mereka yang ingin menempuh sekolah tinggi; bagaimana cara lulus dari salah satu kampus terbaik dengan waktu yang sangat cepat. Pertanyaannya mudah, tetapi untuk menjawabnya saya perlu waktu untuk sedikit berpikir.
S-1 Sastra Indonesia UGM saya tempuh 3 tahun 1 bulan, S-2 Ilmu Linguistik UGM saya selesaikan 1 tahun 4 bulan, S-3 Ilmu-Ilmu Humaniora UGM saya rampungkan 3 tahun 3 bulan. Saya bejo alias beruntung dengan latar belakang anak desa nun jauh di Tulungagung, bisa mengenyam pendidikan tinggi di kampus biru ini. Waktu studi yang singkat, tidak menghalangi saya untuk menjadi bagian dari lulusan-lulusan terbaik.
Waktu studi yang singkat itu bisa saya tempuh, salah satu faktornya adalah kuliah dengan biaya mandiri alias mbayar dhewe. Semakin lama studi saya, tentu semakin besar biaya yang harus saya keluarkan. Kuliah dengan bekerja, tentu tidak sama dengan mereka yang hanya fokus kuliah dan dibiayai. Karenanya sejak awal kuliah, saya merasa wajib bertemu pembimbing dan dosen terkait untuk membicarakan soal masa studi dan cara agar saya bisa lulus cepat.
Selain itu, saya yakin yang mendorong saya lulus cepat adalah belajar dengan gembira. Saya senang pada materi pembelajaran yang saya pilih. Tantangan dan hambatan selama masa studi menjadi seperti lewat begitu saja. Jatuh bangun kuliah demi mendapatkan hasil terbaik, tidak menjadi beban bagi diri saya. Semua dapat saya lalui dengan hati riang gembira sebagai proses yang membuka mata ilmu saya.
Jauh sebelum saya menempuh pendidikan tinggi, tentu saya juga harus melewati masa pendidikan yang bernama sekolah ---pendidikan dasar. Ada banyak kegembiraan sekolah di masa saya belia. Karena dulu saat masuk SD (Sekolah Dasar) tidak ada kewajiban untuk anak harus punya ijazah TK (Taman Kanak-Kanak) apalagi PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini).
Jadi, saya sekolah mulai dari SD (Sekolah Dasar). Sekolahnya pun sekolah pemerintah, sekolah negeri. Kurikulum yang saya terima, tentu sesuai dengan kurikulum negara. Anak-anak masuk jam tujuh pagi dan pulang jam sepuluh siang untuk kelas satu dan dua. Selanjutnya setelah kelas tiga, masuk kelas jam tujuh pagi pulang jam dua belas siang. Setelah masuk SMP (negeri) dan SMA (negeri), sekolah pun tetap masuk kelas jam tujuh pagi dan pulang jam dua belas siang.
Apesnya karena orang tua saya terbatas secara ekonomi dan harus menyekolahkan enam orang anaknya, maka kami tidak dileskan ini itu atau diikutkan kursus pelajaran beragam. Waktu kami bebas untuk bermain di siang hari sampai tiba jam tiga sore. Jam empat sampai enam sore, saya bersaudara masuk pesantren untuk belajar agama Islam dari belia sampai lulus SMA.
Semuanya berlangsung begitu saja dengan kegembiraan. Ke sekolah, ke pesantren, saya gembira. Selain bertemu teman-teman ya karena sekolah tidak terlalu lama. Tugas-tugas sekolah dan dari pesantren ada, tapi tidak banyak dan tetap bisa dikerjakan dengan bermain-main. Saya pikir gembira dalam belajar itulah yang harus kita terapkan pada diri kita; bahkan saat kita bekerja. Hati yang riang gembira akan menjadikan semua proses sulit terasa lebih ringan dan mudah.
Artikel Terkait
Said Didu Sebut Penjualan Jalan Tol Berpotensi Langgar Tiga Undang-Undang
Hari Pahlawan 2021: Membangkitkan Semangat Juang Para Generasi Milenial
Rasa Malu Pun Langka Seperti Minyak Goreng
Dialog Santai GMRI Bersama Presidium ProDem Di Markas Perkumpulan Aktivis Indonesia Jakarta Pusat
Pengamat Politik Jacob Ereste : Sikap Mbalelo Para Menteri Pada Presiden,Isyarat Keambrukan Yang Mencemaskan
Pengamat Jacob Ereste Dalam Pandangannya "THR Sebagai Keyakinan Dalam Dimensi"